Rabu, 13 Juli 2011

Contoh Press Releasse

Call for Climate: Setelah Perundingan di Bali dan di Bangkok
For Immediate Release
22 April, 2008; 09:00

Pada peringatan Hari Bumi pada tanggal 22 April 2008 yang bertemakan ”A Call for Climate”, Pelangi Indonesia menegaskan bahwa semua pihak, terutama pembuat kebijakan, harus terlibat di dalam pengurangan laju dan dampak perubahan iklim. Masyarakat pun memiliki kewajiban untuk mendorong pemerintah membuat serta mengimplementasikan kebijakan yang mendukung kegiatan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Jakarta, 22 April 2008
Konferensi Bali Desember 2007 menghasilkan Bali Action Plan yang mengusung berbagai elemen sebagai pokok pembahasan negosiasi sampai periode komitmen pertama Protokol Kyoto yang berakhir pada tahun 2012. Bali Action Plan juga menyepakati pembentukan proses negosiasi baru dalam bentuk Ad hoc Working Groups on Long-term Cooperative Action (AWG-LCA) yang akan dilaksanakan secara paralel dengan kelanjutan proses Ad hoc Working Group on Further Commitments for Annex I Parties under the Kyoto Protocol (AWG).

Sebagai salah satu implementasi Bali Action Plan, diadakanlah Bangkok Climate Change Talks pada 31 Maret hingga 4 April 2008. AWG-LCA bertemu untuk menyusun rencana kerja hingga tahun 2009, mengingat pada tahun tersebut AWG-LCA harus sudah memiliki usulan-usulan aktivitas yang perlu dilakukan oleh negara maju dan berkembang untuk menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer.
Sementara itu, AWG menyepakati bahwa mekanisme pasar berbasis proyek yang diatur di dalam Protokol Kyoto, seperti CDM, akan tetap dijalankan untuk membantu negara-negara Annex I memehui target penurunan emisi mereka. Namun mekanisme-mekanisme fleksibilitas ini berfungsi sebagai alternatif/tambahan saja, sementara negara Annex I tetap harus menurunkan emisi di dalam negerinya sendiri juga.

Proses negosiasi ini akan dilanjutkan pada bulan Juni 2008 di Bonn, Jerman.

Pada peringatan Hari Bumi pada tanggal 22 April 2008 yang bertemakan ”A Call for Climate”, Pelangi Indonesia menegaskan bahwa semua pihak, terutama pembuat kebijakan, harus terlibat di dalam pengurangan laju dan dampak perubahan iklim. Masyarakat pun memiliki kewajiban untuk mendorong pemerintah membuat serta mengimplementasikan kebijakan yang mendukung kegiatan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Terhadap perkembangan isu perubahan iklim baik di tingkat nasional maupun internasional, Pelangi Indonesia menyatakan bahwa:

1. Lahirnya Bali Action Plan merupakan langkah awal yang penting untuk menentukan arah negosiasi. Perlu diakui bahwa selama proses negosiasi di Bali yang sangat alot, terjadi berbagai perubahan di dalam draft Bali Action Plan sehingga dokumen yang akhirnya disepakati relatif lebih ‘lunak’ dibandingkan draft-draft sebelumnya. Namun dokumen ini berhasil merangkum berbagai kepentingan pihak-pihak yang berbeda sehingga negara yang tidak meratifikasi Protokol Kyoto (yaitu Amerika Serikat) mau bersifat fleksibel dan menerima keputusan ini. Selain itu, Bali Action Plan juga menunjukkan pengakuan akan pentingnya teknologi dan finansial, yang selama ini menjadi isu-isu ‘terpinggirkan’ di dalam kegiatan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

2. Keputusan di Bangkok bahwa mekanisme seperti CDM hanya menjadi kelonggaran bagi negara Annex I sangatlah krusial bagi perkembangan negosiasi perubahan iklim, termasuk yang terkait dengan isu mekanisme penurunan emisi GRK. Saat ini, banyak negara Annex I yang memanfaatkan mekanisme perdagangan karbon untuk memenuhi target penurunan emisi mereka dengan biaya murah di negara berkembang, namun upaya penurunan emisi mereka secara domestik tidaklah sepadan. Hal ini terbukti dari data UNFCCC yang menunjukkan bahwa emisi beberapa negara maju pada tahun 2005 malah meningkat dibandingkan emisi GRK mereka pada tahun 1990 (lihat data UNFCCC disini).

3. Untuk kegiatan CDM, harus dipastikan bahwa kualitas dan kuantitas CER yang dihasilkan sesuai dengan prinsip pembangunan lingkungan dan ekonomi yang berkelanjutan. Selain itu, perlu diberlakukan batas maksimum jumlah CER yang boleh dijual sebuah negara untuk mengatasi tidak meratanya proyek CDM secara regional.

4. Saat ini tidak ada batasan maksimum penurunan emisi yang dapat dilakukan negara maju melalui berbagai mekanisme fleksibilitas termasuk CDM. Seharusnya sebagian besar upaya penurunan emisi oleh negara maju dilakukan di dalam negeri dan mekanisme fleksibilitas merupakan kelonggaran saja. Untuk itu, harus ada peraturan mengenai jumlah emisi minimal yang tereduksi secara domestik di negara Annex I sebelum mereka bisa mendapatkan tambahan penurunan emisi melalui mekanisme lain, semisal CDM.

5. Sumber dana adaptasi (Adaptation Fund) seharusnya bukan hanya berasal dari CDM, melainkan juga dari mekanisme fleksibilitas lain yang dilakukan antar negara-negara maju (International Emission Trading dan Joint Implementation). Selain itu, eksplorasi mengenai sumber pendanaan lainnya harus dilakukan berdasarkan polluter pays principle.

Pelangi Indonesia adalah sebuah lembaga nir-laba yang independen yang berperan sebagai lembaga kajian untuk mendorong kebijakan publik di bidang perubahan iklim, energi dan transportasi, dalam kerangka keadilan sosial dan keberlanjutan fungsi-fungsi lingkungan.

Untuk informasi lebih lanjut, silakan hubungi:
Gustya Indriani
Manajer Program dan Informasi-Komunikasi
021 – 72801172
info@ pelangi.or.id

1.b
Kebijakan energi, transportasi, dan perubahan iklim perlu lebih sensitif terhadap isu gender
For Immediate Release

Kebijakan pelayanan publik yang sensitif gender diperlukan untuk menyetarakan peluang, kesempatan, dan fasilitas antara laki-laki dan perempuan, kata Direktur Eksekutif Yayasan Pelangi Indonesia Kuki Soejachmoen. "Masalah gender di sini bukan hanya mengedepankan perempuan, tetapi untuk memberikan kesempatan yang sama bagi laki-laki dan perempuan dalam beraktivitas.”
Hal ini ia sampaikan dalam diskusi dengan tema ‘Formulasi Kebijakan yang Sensitif Gender dalam Menjawab Tantangan Transportasi, Energi, dan Perubahan Iklim’
Pelangi mengadakan diskusi ini untuk memperkuat jaringan kerja, khususnya dalam bidang transportasi, energi, dan perubahan iklim, diantara pihak-pihak yang berkepentingan dalam gender dan pembangunan, yaitu lemabaga-lembaga pemerintah, non-pemerintah, akademik, sektor bisnis, serta lembaga donor. Kuki menambahkan, “Diharapkan pertemuan ini dapat menjadi salah satu langkah awal untuk secara bersama melakukan assessment mengenai pengarusutamaan gender dalam pembangunan di Indonesia.”
Pengarusutamaan gender vital dilakukan untuk mencapai kesejahteraan sosial yang merata karena saat ini perbedaan peran tradisional perempuan sering menempatkannya dalam posisi yang dirugikan.
Menurut Prianti Utami dari Yayasan Dian Desa, “Penggunaan energi terbesar di Indonesia adalah sektor rumah tangga dan sudah umum menjadi peran perempuan untuk bertanggungjawab atas pengadaan dan penggunaannya.” Mencari kayu bakar dan air, serta memasak umum menjadi tugas rumahtangga perempuan. Tersedianya sumber-sumber energi dengan lebih baik akan meringankan “tugas tradisional” perempuan dan bisa memberikan waktu lebih untuk aktivitas pendidikan dan kegiatan produktif.
Eka Melisa dari WWF-Indonesia menjelaskan proses negosiasi perubahan iklim internasional yang didominasi laki-laki. Padahal perubahan iklim berdampak lebih besar pada negara-negara berkembang dan paling dirasakan penduduk miskin yang sebagian besar adalah perempuan. Dampak perubahan iklim seperti bencana banjir dan kekeringan akan semakin memberatkan perempuan karena “sudah menjadi tugas mereka” untuk merawat keluarga. Selain itu, dalam sebuah bencana, umum terjadi sebagian besar korban adalah perempuan. “Karena ini diperlukan studi mengenai dampak perubahan iklim serta penanganannya, baik bagi perempuan maupun laki-laki,” lanjut Eka.
Minimnya keterlibatan perempuan dalam proses perencanaan pembangunan juga berdampak pada kurangnya kenyamanan fasilitas transportasi bagi perempuan. “Kasus kejahatan dan pelecehan seksual merupakan masalah serius bagi perempuan,” jelas Khoirun Ni’mah dari Instran, “Selain itu struktur kendaraan kadang tidak aksesibel bagi konsumen, terutama anak dan perempuan.” Hal-hal tersebut membuat perempuan tidak bisa bergerak secara leluasa dan berpengaruh terhadap kesejahteraannya.
Eratnya gender dengan kesejahteraan yang merata membuat isu ini perlu lebih diperhatikan. Terutama karena perhatian terhadap kesetaraan gender masih minim meski Indonesia sudah memiliki beberapa perangkat hukum pendukung. Diantaranya, UU No. 7 Tahun 1984 sebagai instrumen untuk meratifikasi Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW), serta Inpres 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar